Beberapa belas tahun lalu, anak-anak berlari menelusuri jalanan kota Denpasar tanpa mengenal kata lelah. Kota yang dulu masih dipenuhi dengan udara segar pepohonan yang tumbuh rindang. Berlari bermain tanpa mengenal asap kendaraan ataupun polusi udara lainnya. Tawa bahagia yang merekah seakan menjadi bagian dari kota itu sendiri. Kota ini masih perawan. Menjelang pukul 7 pagi tampak anak-anak bersepeda menuju sekolahnya ada juga yang terlihat berjalan kaki sambil bercengkrama. Sinar matahari menyinari kota dengan penuh. Udara pagi sangat segar dan terkadang terasa sejuk. Semua dulu baik-baik saja.
Tapi sekarang bagaimana kota kita ? Pepohonan yang dulu tumbuh rindang yang biasanya menjadi tempat berteduh kini tinggal akarnya saja. Banyak penebangan pohon yang dilakukan secara liar, hutan-hutan sebagian menjadi gundul. Tawa bahagia itu seketika hilang. Tanah lapang dipinggiran jalanan kota kini disulap menjadi gedung besar yang megah. Para pemilik sawah tampak berlomba-lomba memasang pengumuman penjualan sawah miliknya. Sawah yang dulu hijau kini telah berubah menjadi villa ataupun rumah. Jika diamati lebih dalam lagi apakah kawasan hijau masih dengan gampang ditemukan di kota ini ? Jawabannya menyesakkan dada. Kawasan hijau sudah tergerus. Tercatat sekitar 800 hektar lahan per tahun yang dialihfungsikan. Hal tersebut dapat saja mengakibatkan bencana banjir. Lima tahun belakangan ini, kawasan kota hampir rajin mengalami kebanjiran. Baru hujan 10 menit saja, jalanan kota tergenang air yang hampir selutut. Selokan yang dipenuhi dengan sampah otomatis menjadi mampet. Hal ini menunjukkan semakin hilangnya keseimbangan ekologis di kawasan perkotaan.
Contoh saja di daerah Monang-Maning Denpasar yang rutin terjadi banjir. Padatnya penduduk ditambah lagi dengan banyaknya fasilitas umum seperti sekolah, puskesmas ataupun kantor yang ada disana semakin mendukung terjadinya banjir di wilayah itu. Bagaimana pohon-pohon dapat menampung air didalam tanah kalau pohon itu sendiri kini banyak ditebang. Alhasil inilah yang terjadi, banjir dimana-mana. Kalau sudah begini bencana alam lain bisa menyusul seperti halnya tanah longsor. Lihat saja kawasan Renon di tengah kota Denpasar. Sepantasnya menjadi ruang terbuka hijau, tapi malah banyak bangunan berdiri nan kokoh. Tak habis pikir jadinya.
Hampir setiap pagi bila kita membuka lembaran koran harian kota, topiknya memberitakan tentang adanya korban tewas akibat terkena arus banjir ataupun akibat tanah longsor, sungai di pinggiran kota meluap karena penuh dengan sampah-sampah yang didominasi dengan sampah plastik dan lain sebagainya. Atau bahkan lebih mirisnya lagi tentang berkurangnya daratan di Bali. Sungguh ini merupakan sindiran halus untuk Pemerintah Daerah maupun pihak yang terkait.
Kondisi kota dulu dan kini jauh berbeda, dulu penduduk masih nyaman, masih merasakan kesejukan. Kini jelas tidak. Penebangan pohon secara liar terlebih-lebih mempengaruhi kondisi air umumnya di Bali mengalami penurunan yang drastis dari tahun ke tahun bersamaan dengan konflik yang mengikutinya. Contohnya saja perebutan sistem pengaturan air di wilayah Subak sampai perebutan mata air oleh PDAM. Tentu hal ini membuktikan bahwa kota mengalami krisis air bersih mengingat industri pariwisata sangat haus terhadap sumber daya air. Data yang didapat dari Walhi Bali menunjukkan, satu orang di Bali setiap harinya membutuhkan 200 liter air, satu kamar hotel membutuhkan 3.000 liter air dan satu lapangan golf mengonsumsi 3 juta liter air setiap hari.
Disamping itu meningkatnya aktifitas penduduk turut serta mendorong pencemaran air menjadi tidak murni lagi. Pada akhirnya berakibat semakin langkanya air pada musim kemarau. Semakin rusaknya lingkungan kita, semakin mengakibatkan berkurangnya kualitas air dalam tanah. Air mulai tercemar yang disebabkan dengan semakin padatnya pemukiman penduduk, pabrik-pabrik dengan penggunaan bahan kimia yang limbahnya langsung dialirkan ke sungai. Hal ini sangat berbahaya karena banyak bakteri dari sampah ataupun limbah yang bercampur dengan air tanah. Penduduk bisa rawan berpenyakit. Contohnya saja sakit perut, disentri, gatal-gatal, alergi dan kolera.
Perubahan yang pesat dalam bidang pariwisata. Banyak objek wisata yang dikembangkan mencaplok lahan pertanian produktif dalam jumlah puluhan bahkan ratusan hektar, dan bahkan telah menggusur atau mengganggu keberadaan tempat-tempat suci (parahyangan) di sejumlah lokasi. Selain itu juga mencaplok kawasan pantai, kemudian menutup fungsi pantai sebagai tempat suci bagi orang Bali dalam prosesi upacara Melasti, yakni penyucian alam semesta dan diri sendiri menjelang Hari Suci Nyepi. Keharmonisan hubungan manusia Bali dengan Tuhan kini mulai terganggu, sehingga secara langsung berpengaruh buruk kepada sikap dan prilaku masyarakat setempat terhadap lingkungan dan sesamanya.
Hal yang sama, kota ini tidak terlepas dari kemacetan hampir setiap harinya. Setiap orang yang tinggal di kota ini rata-rata memiliki lebih dari satu kendaraan bermotor. Lebih celakanya lagi, permasalahan kemacetan ini diatasi dengan membangun jalan-jalan baru yang tentu saja mengalihfungsikan kawasan hijau. Hal ini malah lebih menimbulkan polemik yang lebih besar lagi.
Dalam ajaran agama Hindu dikenal Tri Hita Karana. Ajaran yang mengajarkan umat manusia untuk memiliki hubungan yang harmonis terhadap semua hal yang ada di dunia ini. Termasuk juga di dalamnya harmonis dengan lingkungan sekitar atau alam yang dikenal dengan nama Palemahan. Sebenarnya, masyarakat Hindu dulu menjunjung tinggi ajaran ini. Maka dari itu, wilayah Bali umumnya dulu hampir tak tersentuh modernisasi, padahal Bali merupakan daerah tujuan wisata. Perubahan sikap manusia Bali baru terlihat beberapa tahun belakangan. Mungkin hal itu karena penurunan toleransi terhadap lingkungan sekitar.
Untuk membenahi dan memperbaikinya, peran seluruh warga kota khusunya sangatlah dibutuhkan. Karena merekalah yang berhak untuk menikmati segala fasilitas yang ada. Tentu saja. Karena untuk merekalah bagian dari kota ini. Bukannya untuk kepentingan beberapa pihak. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran para oknum terkait untuk mengadakan penyelesaian tentang masalah-masalah yang dihadapi seperti banjir, krisis air, penebangan pohon sampai kemacetan yang rutin terjadi. Disinilah warga kota harus turut ikut andil. Terlebih mempunyai usulan yang membangun. Di sisi lain, warga juga harus menjaga lingkungan kota dengan membuang sampah pada tempatnya, menghemat penggunaan air, sampai tidak melakukan penebangan secara liar. Karena itulah peran serta kesadaran warga kota itu sendiri yang sangat penting. Bukannya wacana pemerintah yang hanya omongan belaka.
Sebagai warga yang tinggal di kota Denpasar, sudah semestinya kita menjaga kota. Meskipun tanpa adanya wacana pemerintah. Kita seharusnya sadar, siapa yang akan menikmati kota ini ? Tidak lain tidak bukan adalah kita sendiri. Siapa yang tidak ingin tinggal di kota yang sehat. Siapa juga yang tidak ingin mendapatkan air yang bersih tanpa pencemaran. Semua hal positif harus kita lakukan agar kita kembali melihat senyum anak-anak yang bermain riang di pinggiran jalanan kota. Berlari-larian tanpa terbatuk atau tersedak asap kotor kendaraan. Senyum yang akan selalu senantiasa menghiasi hari-hari mereka. Bukannya itu yang kita inginkan kawan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar