Kamis, 04 Agustus 2011

MEREKA SATU, TUHAN MEREKA YANG BEDA


Pernahkah kau merasakan sesuatu yang biasa hadir mengisi hari-harimu, tiba-tiba lenyap begitu saja. Hari-harimu pasti berubah jadi pucat tanpa gairah. Saat kau hendak mengembalikan sesuatu yang hilang itu dengan sekuat daya, namun tak kunjung tergapai. Kau pasti jadi kecewa seraya menengadahkan tangan penuh harap lewat kalimat doa yang tak putus-putusnya.
***
Cerita ini bermula ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan telah jatuh cinta. Tetapi ‘dunia’ mereka berbeda.
***
Utari kini sendiri. Tidak lagi bersama Riky, kekasihnya. Matanya tajam menerawang lurus masuk hingga dunia khayal. Di tengah sawah, Riky menyatakan keseriusannya pada dirinya. Lalu Utari pun terlihat tersenyum sejurus kemudian Riky mencium tangannya. Melayang-layang, menari, bernyanyi sambil diiringi air mata yang mengucur, semua dibiarkan tak terkendali.
Suara petokan ayam kesayangan bapaknya terdengar cukup mengagetkan dirinya. Hingga khayalannya pun buyar berserakan. Utari menyesal, menyesal sekali. Mengapa harus merelakan keperawanan yang seharusnya ia pertahankan dalam sebuah perkawinan khayalan.
***
Utari kini sedang duduk di sebuah bale. Jari-jemarinya piawai menari dengan janur dan pisau, sesekali matanya menoleh kearah dapur, ia juga sedang menanak nasi untuk makan malam. Utari bukan gadis Bali biasa. Ia sadar akan kodratnya sebagai anak perempuan tunggal yang di dalam darahnya mengalir darah bangsawan Bali.

Utari, anak yang mandiri, apalagi kini ia tinggal bersama bapaknya semenjak kepergian ibundanya. Bapaknya, I Gusti Ngurah Lanang Suteja, seorang tokoh adat yang sangat disegani di masyarakat. Semua pekerjaan rumah sudah dipercayakan kepadanya. Mulai dari pagi sebelum berangkat sekolah hingga sebelum tidurpun, tak ada habisnya yang ia kerjakan. Semua ia kerjakan dengan senang hati. Ia anggap itu semua adalah abdi yang tulus kepada orang tuanya.
Utari perempuan yang lemah lembut, memperjuangkan cintanya dengan sekuat tenaga dan sepenuh jiwanya. Namun disisi lain kelembutan itu dapat berubah kelemahan dan menjadi kekalahan. Karena tekadnya bahkan bisa merobohkan iman dan ketakwaannya.

Utari menyadari dirinya tidak lagi suci. Kini ia telah terikat. Semakin hari semakin ia tutupi, hingga terasa was-was.
***

Tak lama lagi Riky datang, karena dia telah mengirim pesan. Untuk apa sih dia datang, pikir Utari. Tapi seharusnya dia terhibur. Riky mungkin akan bertangggung jawab. Tapi apakah benar seperti itu. Lagi-lagi Utari berfikir. Ia sadar pilihan yang ia ambil terlalu besar resikonya. Ia masih mempunyai cita-cita dan ingin mewujudkannya. Sedetik kemudian, perasaannya lebih tercekam kekhawatiran.

Setiap Utari mengingat kejadian kelamnya, hatinya teriris, kemudian berlanjut dengan panjatan doa, agar semuanya bisa ia lewati dengan baik, dilimpahkan kekuatan dan ketabahan. Kadang dia pasrah, ikhlas bila terjadi sesuatu padanya.
***
Utari bukan gadis sembarangan. Dirinya sadar Pak Gusti akan marah besar jika mengetahui kenyataan yang dialaminya. Bukan hanya itu, Utari masih siswi kelas 3 SMA. Lebih-lebih Riky bukanlah umat Hindu, melainkan Kristiani. Itu menjadi tembok penghalang yang besar bagi hubungan mereka. Mereka satu, tapi iman mereka yang berbeda.

Utari terus menerawang berfikir hingga otaknya fokus pada peristiwa setahun silam.
“I Luh anakku sayang. Cening Utari yang paling Bapak cintai. Bapak sudah memiliki jodoh untuk masa depanmu. Bapak kira setelah tamat sekolah, kamu bisa langsung menikah.” Gung Weda, laki-laki yang selama ini sudah dijodohkan dengannya. Utari tidak bisa menolak walaupun sebenarnya ia sudah memiliki Riky. Ia sadar dan tau apa akibatnya nanti. Utari sangat hormat pada bapaknya dan tidak ingin mengecewakan.

Tetapi apa daya, Utari diam-diam tetap menjalin hubungan dengan Riky. Bahkan sialnya lagi, Pak Gusti sudah mengetahui sejak beberapa minggu lalu.
***
Sesaat kemudian terdengar suara pintu pagar dibuka. Riky sudah datang. Iya ternyata benar-benar mengunjunginya.
“Suastiastu.”
“Mau apa kamu ?” Pak Gusti yang menyahut. Mendengar suara Pak Gusti yang terlebih dahulu keluar dari dirinya, Utari berbalik badan dan memilih diam di kamarnya.
“Maaf Pak, saya ingin berbicara dengan Bapak.”
            Satu jam. Tangannya mulai basah. Hatinya sangat khawatir. Utari semakin merasa bersalah. Ia tau kalau dirinya pasti akan mendapatkan hukuman atas perbuatannya.
            Dua jam. Dan tiga jam. Suara gemuruh sepeda motor terdengar mengagetkan dirinya. Semakin lama, suara tersebut mengecil dan menghilang. Utari semakin sesak. Tidak lama kemudian, namanya sudah dipanggil Pak Gusti. Mungkin ini saatnya aku akan mati, batin Utari.
“Kamu tau apa yang kamu buat?”  Suasana menjadi hening sesaat.
Pak Gusti melanjutkan, “Sekarang kamu selesai sekolah dan menikah dengan Gung Weda.”
Utari diam sejenak tak lama kemudian air matanya dibiarkan deras mengucur.

            Utari merasa hidupnya sudah berakhir. Impiannya kini kandas.
***
            Cerita ini diakhiri saat dunia yang ‘berbeda’ tetap tidak bisa disatukan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar